BELA NEGARA SEBAGAI BAGIAN DARI IMAN
Oleh, H.Iwan Sumiarsa, S.H., M.H., M.A.P.
PENDAHULUAN
Bangsa besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi nasionalisme, nilai- nilai, spirit kebangsaan dan agama. Dalam konteks Indonesia, nasionalisme menjadi harga mati karena menjadi wujud kepatuhan terhadap dasar-dasar negara, konstitusi sekaligus representasi kepatuhan beragama. Menjadi nasionalis merupakan bukti orang beragama secara kaffah. Sebab, beragama dan bernegara bisa berjalan dalam waktu bersamaan dan tidak harus dipisah. Menjadi religius bisa sekaligus menjadi seorang nasionalis, begitu sebaliknya.
Dalam konteks Indonesia, tidak perlu ada pembedaan dan pemisahan antara agama dan negara.
Beragama dan bernegara bisa senada dan seirama. Semuanya itu sudah dirangkum dalam butir-butir Pancasila yang menampung semua perbedaan dan kepentingan. Indonesia merupakan negara yang berbeda dengan negara lain karena mampu menggabungkan spirit kebangsaan dengan agama. Artinya, tidak semua negara memiliki konsep kenegaraan ideal yang di dalamnya menampung semua kepentingan dan perbedaan. Indonesia yang beragam suku, agama, ras, warna kulit, bahasa dan budaya bisa bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan spirit nasionalisme.
Banyaknya kelompok yang belakangan secara tegas ingin mengubah dasar negara menjadi bukti mereka “gagal paham” terhadap nasionalisme dan agama mereka. Mereka lantang meneriakkan bahwa nasionalisme adalah kafir, Pancasila itu taghut, hormat bendera haram, menyanyikan lagu Indonesia Raya kafir dan lainnya. Gerakan dan ujaran seperti ini menjadi berbahaya karena tujuannya menggembosi spirit nasionalisme yang puncaknya pada kehancuran bangsa.
Pertentangan antara nasionalisme dan spirit keagamaan makin kacau karena ditunggangi kepentingan politik.
Ditambah benturan suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA) yang dimanfaatkan pihak- pihak tertentu. Adanya kelompok pengusung spirit “Negara Islam” justru memperkeruh kondisi bangsa. Padahal memegang nasionalisme dan Pancasila sudah sangat islami dan bukan pula melenceng dari substansi Islam itu sendiri.
Adanya kelompok radikal, konservatif, kaku, yang ingin menegakkan khilafah, negara Islam dan sistem syariah sebenarnya harus dikaji lebih dalam. Mereka mempertentangkan nasionalisme dan Islam yang hakikatnya bisa bersatu. Hal itu membuktikan kesempitan berpikir dan mentalitas luar pagar yang tidak memahami Indonesia secara utuh.
Indonesia terdiri atas berbagai macam unsur yang membentuknya, yaitu suku bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan serta agama yang secara keseluruhan adalah suatu kesatuan. Oleh karena itu, Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila sebagai suatu negara kesatuan seperti penjelasan dalam Pembukaan UUD 1945 (Kaelan 2016, 143).
Jika ada kelompok yang menolak Pancasila dan NKRI, maka sama saja mereka mengkhianati sejarah, filosofi, dan konstitusi Indonesia.
Dari penjelasan Huda (2010) dan Kaelan (2016) di atas, golongan yang anti nasionalisme tidak bisa dibiarkan karena bertentangan dengan pilar bangsa. Sebab, Indonesia dengan Arab, Mesir, Yaman, jelas berbeda. Di Nusantara ini, tidak ada yang urgen untuk mendirikan negara Islam, Daulah Islamiyah, Islamic State atau pun Khilafah. Sebab, Hukum Islam tidak bergantung pada adanya suatu negara, melainkan masyarakat dapat memberlakukan hukum agama dalam sebuah negara berbentuk apa saja.
Jadi tidak ada keharusan bagi Indonesia diubah menjadi Khilafah, Negara Islam Indonesia, Indonesia Syariah atau sejenisnya. Sebab, yang ditonjolkan seharusnya nilai-nilai, subtansi, ruh dan ajarannya, bukan Islam dijadikan sebuah negara. Hal ini membuktikan patologi dan anomali sosial yang makin akut. Apalagi, fakta di lapangan membuktikan sejumlah ormas pengusung khilafah bukan mengusung gerakan Islam secara ramah dan damai, melainkan konstitusi mereka justru adalah gerakan politik yang ingin merebut kekuasaan yang akhirnya melahirkan tindakan radikal dan menyalahkan kelompok lain. Ironinya radikalisme dan pertentangan antara agama dan negara tersebut justru muncul dari kalangan berpendidikan yang seharusnya bisa berpikir lebih rasionil dalam menyikapi permasalahan yang ada.
Dalam konteks ini Bela Negara harus dimaknai dengan mempersiapkan generasi melalui Pendidikan berkarakter. Mahasiswa (pelajar) sebagai agen of change harus dapat berperan aktif dalam menumbuhkan nalar kritis yang konstruktif bukan justru menjadi mortir politik destruktif sekelompok elit serakah. Keyakinan itu harus terus tumbuh bahwa satu-satunya yang dapat mengubah keadaan, termasuk kekacauan selama ini di Indonesia adalah ilmu pengetahuan sebagaimana dulu wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT adalah ayat tentang membaca (iqro) yang secara filosofis dimaknai sebagai perintah untuk belajar.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Bela Negara dalam perspektif Islam dan Perspektif Konstitusi?
Bagaimana peran mahasiswa dalam mewujudkan Bela Negara ?
PEMBAHASAN
Bela Negara Dalam Perspektif Islam
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini getol mengkampanyekan “Hubbul Wathon Minal Iman” menyepakati bahwa teks tersebut bukan merupakan hadist melainkan adagium yang dipopulerkan oleh para ulama untuk mendorong rasa nasionalisme masyarakat ditengah derita penjajahan. Meskipun demikian, K.H. Ma`ruf Khizin menilai bahwa hubbul wathon minal iman merupakan nilai filosofis dari doa Nabi Muhammad Saw :
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا
مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (رواه البخارى)
Artinya : Ya Allah, jadikan kami cinta Madinah, sebagaimana cinta kami kepada Makah atau melebihi Makah.
Menurut Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathu Al-Bari menjelaskan bahwa hadist tersebut menunjukan tentang keutamaan Kota Madinah dan disyariatkannya cinta tanah air serta rindu terhadap negeri.
Dalam pendapat lain ada yang berpendapat bahwa cinta tanah air diambil dari peristiwa rasa bahagia Rasullullah SAW setelah berpindahnya kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram.
Dalam Q.S. Al Baqarah Ayat 144 disampaikan :
Artinya: “Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkan lah wajahmu ke arah Masjidil haram. Dimanapun kamu sekalian berada, hadapkan lah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke Masjidil haram) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.
Dalam kisah lain (Q.S. Al Baqarah 126) cinta tanah air dapat ditemukan dari kisah kecintaan Nabi Ibrahim terhadap tanah airnya. Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah SWT, agar Allah menjadikan tanah airnya aman sentosa dan diberkahi dengan kelimpahan rizki.
Dalam konteks kebangsaan dan ke-indonesiaan, hubbul wathon minal iman menjadi konsep yang strategis untuk menumbuhkan semangat kecintaan terhadap Indonesia (nasionalisme). Kecintaan ini bermakna ajakan untuk memakmurkan tanah air dengan amal-amal saleh atau amal-amal yang baik.
Dalam konteks ini difahami bahwa negara dan agama adalah sebuah realitas duniawi yang harus dijaga dan dipelihara dalam rangka mendukung kehidupan praktik beragama yang bermuara pada kebahagian akhirat.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Abu Hamid Al Ghazali: tatanan (tertata) agama tidak akan terwujud tanpa tatanan (tertata) dunia dan tatanan dunia tidak akan terwujud tanpa pemimpin yang dipatuhi.
Bela Negara tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia serta keyakinan akan kesaktian Pancasila sebagai ideologi negara dan kerelaan untuk berkorban guna meniadakan setiap ancaman baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
Bela Negara merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap warga negara sebagai penunaian gak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Bela Negara dalam konteks Islam adalah manifestasi dari nilai-nilai solidaritas (ta`awun) kesetiaan terhadap ideologi negara yang telah disepakati bersama (kalimatun sawa`), rasa persatuan dan persaudaraan (ukhuwah islamiah), menebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (Amar ma`ruf nahyi mungkar) dan kewajiban untuk menunaikan hak dan kewajiban.
Menurut Nurcholis Madjid pengertian (meaning) dari Islamiyah adalah kepasrahan dan kedamaian sehingga harus dimaknai bahwa sebuah kedamaian akan terwujud dalam tatanan negara yang aman dan damai. Islam juga telah mengatur masalah kehidupan bernegara atau sistem politik.
Namun ada sebagian pakar seperti ‘Ali ‘Abdur Raziq dan Taha Husain berpendapat bahwa Islam tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan kenegaraan, karena Nabi Muhammad diutus tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu Negara. Akan tetapi selayaknya ada telaah political historis kepada perjalanan kehidupan Beliau, dengan tidak mengesampingkan sisi kenabiannya, salah satunya dengan ditetapkannya piagam Madinah yang berisi macam-macam memorandum politik untuk melakukan kesepakatan dalam kesadaran bermasyarakat dan bernegara, dengan sistem demokrasi dengan cara membolehkan non-muslim untuk tinggal di Madinah dan mendapat perlindungan yang sama dari Pemerintah Negara.
Jihad dalam konteks kenegaraan di Indonesia menjadi konsepsi yang dinamis; lepas dari keterikatan waktu, sebab relevansi jihad sangat berkaitan erat dengan perkembangan zaman pada masanya.
Penulis menyimpulkan jihad menjadi dua bagian: pertama, mempertahankan nilai sakralitas bersama sebagaimana berikut, al-muhafadhah alam al-ittihad (persatuan), as-syura (bermusyawarah), al-adalah lada al-ahkam (sama rata di depan hukum), al-amni (rasa aman), al-hurriyah ma’a Mas’uliyah (kebebasan bersuara dengan tanggung jawab), serta lain sebagainya.
Maka bila kita menjaga dan tetap mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai di Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara otomatis Negara akan terlepas dari serangan internal dan eksternal lainnya.
Bela Negara Dalam Perspektif Konstitusi
Menurut J.J. Rousseau, Konstitusi adalah suatu kontrak sosial (Social Contract) yang merupakan kesepakatan masyarakat dalam membentuk kehidupan bersama dalam wadah negara.
Dalam arti luas konstitusi adalah seperangkat prinsip-prinsip nilai dan norma dasar yang mengatur mengenai apa dan bagaimana suatu sistem kekuasaan dilembagakan dan dijalankan untuk mencapai tujuan bersama dalam wadah organisasi.
Indonesia telah menyepakati bahwa konstitusinya tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya mengatur terkait : bentuk dan kedaulatan, kekuasaan pemerintahan negara, Kementrian Negara, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Pemilihan Umum, Hak Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Kekuasaan Kehakiman, Wilayah Negara, Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, Agama, Pertahanan Negara dan Keamanan Negara, Pendidikan dan Kebudayaan, Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial, dan yang lainnya termasuk didalamnya mengatur terkait Bela Negara yang dalam Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945 disampaikan :
“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”
Bela Negara sendiri diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 diatur terkait kewajiban Bela Negara dan keikutsertaan warga negara untuk melakukan Bela Negara, yang salah satunya adalah Pendidikan kewarganegaraan.
Mahasiswa dapat berperan serta dalam mewujudkan Bela Negara dengan menjadikan dirinya sebagai manusia pembelajar yang mempu menjalankan peran sebagai agen of change sehingga tumbuh rasa nasionalisme dan patriotisme. Tujuannya adalah untuk menjaga kedaulatan negara dari bentuk penjajahan moderen yang diakibatkan tertinggalnya pendidikan.
Kesimpulan
Bela Negara merupakan perwujudan dari Iman seseorang yang menginginkan secara sungguh-sungguh menjalankan agama.
Islam memandang bahwa agama dan negara tidak begitu saja dapat dipisahkan. Karena keteraturan negara (dunia) akan memudahkan seseorang untuk menjalankan Islam.
Dalam sebuah kaidah dijelaskan “sesuatu hal yang tidak dapat dilaksanakan seluruhnya maka jangan ditinggalkan seluruhnya”. Meski Islam belum dapat terlaksana penuh di Indonesia, bukan berarti menjadi dasar untuk melegitimasi bahwa Indonesia tidak layak untuk dibela (Bela Negara).
Sedangkan dalam konstitusi Bela Negara merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara. Hal ini tertuang dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.
Wujud Bela Negara bagi mahasiswa adalah dengan menjadikan dirinya sebagai manusia pembelajar yang senantiasa haus ilmu pengetahuan. Seperti ketika pertama kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, perintah pertama adalah membaca yang secara filosofis bermakna berilmu. ***
BELA NEGARA SEBAGAI BAGIAN DARI IMAN
