Makna Bela Negara Dalam Prespektif Sejarah, Islam, Konstitusi dan Peran Generasi Muda

Pendidikan80 Dilihat

MAKNA BELA NEGARA DALAM PRESPEKTIF SEJARAH, ISLAM, KONSTITUSI, DAN PERAN GENERASI MUDA

Oleh : H.Iwan Sumiarsa, S.H., M.H., M.A.P.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bela negara merupakan salah satu kewajiban mendasar yang dimiliki oleh setiap warga negara dalam rangka memastikan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, Kewajiban ini tidak terbatas pada keterlibatan langsung di bidang militer, tetapi juga meliputi seluruh usaha yang diarahkan untuk mempertahankan kedaulatan, melindungi keutuhan wilayah, dan menjamin keselamatan rakyat dari berbagai bentuk ancaman yang dapat mengganggu stabilitas negara. Ancaman tersebut bisa bersifat fisik, seperti serangan militer atau aksi terorisme, maupun nonfisik, seperti penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, disinformasi, dan pengaruh budaya yang merusak nilai-nilai luhur bangsa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah bela negara didefinisikan sebagai sikap dan perilaku warga negara yang didorong oleh kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta diarahkan untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Definisi ini menunjukkan bahwa bela negara merupakan konsep yang komprehensif karena mencakup aspek mental, moral, dan tindakan nyata yang bersumber dari kesadaran kolektif seluruh warga negara.
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia membuktikan bahwa semangat bela negara telah mengakar jauh sebelum kemerdekaan diraih Tokoh proklamator Indonesia Soekarno, dalam berbagai pidatonya menegaskan bahwa kemerdekaan tidak pernah diberikan secara cuma-cuma, melainkan merupakan hasil dari perjuangan panjang yang diwarnai dengan pengorbanan jiwa, raga, dan harta. Pandangan ini lahir dari pengalaman panjang bangsa Indonesia yang berjuang melawan penjajahan Belanda dan Jepang, Kesadaran bahwa kemerdekaan diraih melalui perjuangan kolektif inilah yang mendorong gagasan bahwa mempertahankan kemerdekaan sama pentingnya dengan memperjuangkannya. Oleh karena itu, bela negara tidak hanya menjadi tugas aparat pertahanan, tetapi juga merupakan tanggung jawab semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Pemikiran ilmiah tentang negara juga memberikan gambaran mengapa bela negara menjadi penting, Miriam Budiardjo mendeskripsikan negara sebagai sebuah organisasi dalam wilayah tertentu yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. L. Oppenheim, ahli hukum internasional, menjelaskan empat unsur yang menentukan keberadaan sebuah negara, yakni wilayah yang jelas batasnya, rakyat yang mendiami wilayah tersebut, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Keempat unsur ini saling terkait dan menjadi prasyarat agar sebuah entitas dapat disebut sebagai negara berdaulat. Dengan demikian, membela negara berarti berupaya menjaga seluruh unsur tersebut agar tetap utuh dan berfungsi secara optimal.

Indonesia secara resmi berdiri sebagai negara merdeka pada 17 Agustus 1945 setelah Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan teks proklamasi. Akan tetapi semangat membela tanah air telah ada jauh sebelum peristiwa monumental tersebut. Perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, perjuangan Pangeran Diponegoro di Jawa, serta pergerakan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya, merupakan contoh nyata bahwa pembelaan terhadap tanah air tidak terbatas pada masa perang kemerdekaan saja, melainkan telah menjadi tradisi perjuangan panjang bangsa Indonesia. Perjuangan ini tidak hanya bertujuan mengusir penjajah, tetapi juga untuk mempertahankan harga diri, martabat, dan identitas bangsa.

Landasan bela negara dalam sistem hukum Indonesia diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 27 ayat (3) menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Hal ini diperkuat oleh Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib berpartisipasi dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Keduanya menjadi dasar hukum yang menempatkan bela negara sebagai kewajiban hukum, di samping sebagai panggilan moral bagi setiap warga negara untuk berperan aktif menjaga kedaulatan.

Islam memandang pembelaan terhadap negara sejalan dengan ajaran jihad fi sabilillah, yaitu berjuang di jalan Allah dengan berbagai bentuk, salah satunya melindungi negeri dari ancaman yang nyata. Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 60 memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan segala bentuk kekuatan yang dapat digunakan dalam menghadapi potensi serangan musuh.

Rasulullah ﷺ juga memberikan perhatian besar terhadap keamanan wilayah umat Islam. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim beliau bersabda: “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan menjaga
perbatasan wilayah Islam dari serangan musuh, maka Allah akan mencatat pahala jihad baginya hingga hari kiamat”. merupakan bagian dari hadist yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Kitab al-Imarah (Kitab Kepemimpinan), Bab Fadhlu ar-Ribath fi Sabilillah (Keutamaan Menjaga Perbatasan di Jalan Allah), Hadist ini menunjukkan bahwa menjaga keamanan negara merupakan bagian dari ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Para ulama menegaskan bahwa apabila negara berada dalam keadaan terancam, maka membelanya menjadi kewajiban bagi setiap individu (fardhu ‘ain), sehingga bela negara memiliki dimensi keagamaan yang tidak kalah kuat dari dimensi kebangsaan.

Generasi muda memiliki peran strategis dalam melanjutkan estafet perjuangan membela negara Sebagai pelajar dan mahasiswa, mereka dapat berkontribusi melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, memperdalam wawasan kebangsaan, menjaga persatuan dan kesatuan, serta terlibat aktif dalam kegiatan sosial yang berdampak positif bagi masyarakat. Tantangan di era globalisasi tidak lagi terbatas pada ancaman militer, tetapi juga mencakup penyebaran ideologi radikal, arus informasi yang menyesatkan, dan pengaruh budaya asing yang dapat melemahkan identitas nasional. Oleh karena itu, bela negara bagi generasi muda tidak hanya berarti kesiapan fisik, tetapi juga kesiapan mental, intelektual, dan moral untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa Indonesia di tengah dinamika global.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pembahasan di atas, maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut :

Apakah dalam Islam & juga dalam Konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 ada perintah untuk bela negara ?
Bagaimana posisi sebagai pelajar atau mahasiswa kontribusi dalam membela negara ?

PENDAHULUAN

A. Bela Negara dalam Prespektif Islam dan Konstitusi Indonesia

Bela Negara dalam Prespektif Islam pembelaan terhadap negara merupakan bagian dari kewajiban menjaga amanah Allah atas wilayah dan umat yang tinggal di dalamnya, Rasulullah ﷺ memberikan teladan nyata dalam hal mempertahankan tanah air dan melindungi masyarakat dari ancaman.

Kehidupan beliau di Madinah menunjukkan strategi yang komprehensif dalam mempertahankan wilayah, mulai dari mempersiapkan kekuatan fisik, membangun sistem pertahanan, hingga menggalang persatuan umat.
Salah satu peristiwa yang menjadi bukti penting perhatian Rasulullah ﷺ terhadap pertahanan negara adalah pembangunan parit (khandaq) pada Perang Ahzab.

Beliau memimpin langsung persiapan pertahanan kota Madinah ketika menghadapi ancaman koalisi besar Quraisy dan sekutunya. Strategi ini bukan hanya tindakan militer, tetapi juga wujud implementasi ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan segala bentuk kekuatan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa menjaga wilayah adalah kewajiban kolektif yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, sesuai kemampuan mereka. Rasulullah ﷺ juga menekankan pentingnya menjaga perbatasan wilayah Islam. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, beliau bersabda:

“Menjaga perbatasan wilayah umat Islam sehari semalam lebih baik daripada berpuasa dan shalat malam sebulan penuh. Jika ia meninggal dalam keadaan menjaga perbatasan itu, maka amalnya terus mengalir, rezekinya tetap diberikan, dan ia aman dari fitnah kubur.” (HR. Muslim).

Hadist ini memberikan motivasi spiritual yang sangat besar bagi mereka yang terlibat dalam tugas pertahanan. Tidak hanya yang terjun ke medan perang, tetapi juga mereka yang menjaga keamanan secara langsung mendapat kedudukan mulia di sisi Allah. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa mempertahankan harta, nyawa, dan kehormatan dari ancaman merupakan bentuk jihad. Beliau bersabda:

“Barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid; barang siapa yang terbunuh karena membela darahnya, maka ia mati syahid; barang siapa yang terbunuh karena membela agamanya, maka ia mati syahid; dan barang siapa yang terbunuh karena membela keluarganya, maka ia mati syahid.” ( HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi)

Hadist ini menunjukkan bahwa pembelaan terhadap negara mencakup perlindungan atas segala hal yang menjadi unsur pembentuk kehidupan umat: harta, nyawa, agama, dan kehormatan. Dalam konteks negara modern, pembelaan ini meluas pada perlindungan kedaulatan, konstitusi, sumber daya, dan nilai-nilai nasional yang selaras dengan ajaran Islam.

Walaupun “Hubbul wathan minal iman” (Cinta tanah air bagian dari iman) lemah dalam sanadnya, para ulama menegaskan bahwa maknanya sejalan dengan semangat Al-Qur’an dan sunnah. Kecintaan terhadap tanah air menjadi dorongan moral untuk menjaganya dari kerusakan dan ancaman. Ketika negara berada dalam ancaman nyata, para ulama bersepakat bahwa kewajiban membela tanah air menjadi fardhu ‘ain, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Nawawi dan ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qardhawi. Artinya, setiap individu yang mampu harus turut serta tanpa menunggu perintah resmi, karena keselamatan negara adalah bagian dari keselamatan umat.

Dalam konstitusi Indonesia amanat untuk membela negara tercantum secara jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 27 ayat (3) memuat ketentuan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara ” Rumusan ini menunjukkan bahwa bela negara bukanlah sekadar dorongan moral atau bentuk kesukarelaan, melainkan kewajiban hukum yang melekat pada seluruh warga negara tanpa pengecualian, terlepas dari profesi, strata sosial, maupun latar belakang etnis dan agama.

Pasal 30 ayat (1) memperkuat mandat tersebut dengan pernyataan bahwa
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara”
Kedua pasal ini membentuk dasar konstitusional yang menegaskan bahwa tanggung jawab menjaga kedaulatan, melindungi keutuhan wilayah, dan menjamin keselamatan bangsa merupakan kewajiban kolektif seluruh rakyat Indonesia.

Implementasi amanat konstitusi tersebut diatur lebih detail melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Regulasi ini menjelaskan bahwa pertahanan negara adalah seluruh upaya yang dilakukan secara terpadu untuk mempertahankan kedaulatan NKRI, melindungi integritas wilayah, serta menjamin keselamatan segenap warga negara dari segala bentuk ancaman dan gangguan yang dapat mengoyak keutuhan bangsa. Undang-undang ini juga merinci bentuk peran serta warga negara dalam bela negara, antara lain melalui pendidikan kewarganegaraan yang menanamkan kesadaran berbangsa, pelatihan dasar kemiliteran baik secara sukarela maupun wajib, pengabdian sebagai prajurit TNI, hingga pengabdian profesional di bidang tertentu yang mendukung kepentingan pertahanan nasional.

Kerangka hukum tersebut mencerminkan pendekatan yang komprehensif, di mana bela negara tidak terbatas pada peran militer semata, melainkan juga mencakup partisipasi aktif masyarakat sipil di berbagai sektor strategis. Sejalan dengan prinsip Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), TNI dan Polri merupakan komponen utama, sedangkan rakyat berperan sebagai kekuatan pendukung yang memiliki kontribusi signifikan dalam menjaga stabilitas nasional. Pendekatan ini menempatkan warga negara bukan hanya sebagai objek perlindungan, tetapi juga sebagai subjek yang bertanggung jawab secara langsung atas keamanan dan kelangsungan hidup bangsa.

Jika dibandingkan dengan perspektif Islam yang telah dibahas sebelumnya, terlihat adanya keselarasan nilai antara amanat konstitusi dengan prinsip syariat. Keduanya menempatkan pembelaan negara sebagai kewajiban yang bersifat mengikat, baik secara moral, spiritual, maupun legal. Konstitusi memberikan kerangka hukum yang memastikan keterlibatan setiap individu dalam pembelaan negara, sedangkan ajaran Islam memberikan landasan etis dan motivasi religius untuk melaksanakannya. Kesinambungan antara nilai agama dan norma hukum ini memperkuat makna bela negara sebagai kewajiban yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dari perlindungan fisik wilayah hingga pemeliharaan persatuan dan identitas nasional.

B. Peran Strategis Pelajar dan Mahasiswa dalam Bela Negara

Posisi pelajar dan mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah strategis, Mereka adalah generasi penerus yang akan menentukan arah kebijakan, pembangunan, dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di masa depan. Identitas mereka tidak hanya sebatas sebagai individu yang sedang menuntut ilmu di sekolah atau perguruan tinggi, melainkan juga sebagai calon pemimpin bangsa yang kelak akan memikul tanggung jawab besar dalam menjaga, mempertahankan, dan mengembangkan tanah air. Modal utama yang dimiliki generasi muda ini, seperti semangat idealisme, kemampuan berpikir kritis, daya adaptasi terhadap perkembangan teknologi, serta potensi intelektual yang terus berkembang, menempatkan mereka sebagai salah satu kekuatan sosial yang mampu memberikan kontribusi signifikan bagi ketahanan nasional.

Memahami posisi strategis ini konsep bela negara bagi pelajar dan mahasiswa harus dimaknai secara luas dan inklusif, Bela negara tidak terbatas pada keterlibatan langsung dalam pertahanan militer, seperti menjadi bagian dari angkatan bersenjata atau ikut dalam operasi pertahanan fisik, melainkan juga mencakup partisipasi dalam bidang non-militer yang tidak kalah penting.

Bentuk kontribusi non-militer tersebut dapat meliputi penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan bangsa, penguatan nilai-nilai kebangsaan melalui pendidikan dan penyuluhan, pelestarian warisan budaya, hingga keterlibatan aktif dalam kegiatan sosial yang memperkuat solidaritas masyarakat¹. Dengan demikian, setiap pelajar dan mahasiswa memiliki peluang yang sama untuk terlibat dalam bela negara sesuai kemampuan, minat, dan bidang keahliannya.

Sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa keterlibatan generasi muda dalam perjuangan nasional memiliki peran krusial. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi salah satu tonggak penting yang menunjukkan kekuatan persatuan kaum muda dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pada periode revolusi fisik, pelajar bahkan ikut mengangkat senjata, sebagaimana yang terjadi dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945, ketika pasukan Tentara Pelajar turun langsung membela tanah air. Di era yang berbeda, seperti pada momentum Reformasi 1998, mahasiswa berperan sebagai penggerak perubahan politik yang membawa Indonesia menuju sistem demokrasi yang lebih terbuka. Fakta-fakta sejarah ini menegaskan bahwa peran bela negara oleh pelajar dan mahasiswa tidak selalu berbentuk pertempuran bersenjata, melainkan dapat diwujudkan melalui perjuangan intelektual, sosial, dan politik.

Di era globalisasi bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara mengalami pergeseran. Serangan fisik mungkin berkurang, namun ancaman non-fisik semakin beragam, seperti penyebaran paham radikal, degradasi moral, penyalahgunaan teknologi informasi, maraknya berita bohong (hoaks), kejahatan siber, serta masalah lingkungan hidup yang mengancam keberlanjutan sumber daya alam. Dalam situasi seperti ini, pelajar dan mahasiswa memiliki peran strategis sebagai benteng pertahanan nilai dan identitas bangsa.

Dengan keterampilan literasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan pemahaman yang mendalam terhadap wawasan kebangsaan, mereka dapat menjadi filter efektif terhadap pengaruh negatif globalisasi sekaligus agen perubahan positif di tengah masyarakat.
Kontribusi non-militer pelajar dan mahasiswa dalam bela negara dapat dibagi menjadi beberapa dimensi.

Pertama dimensi akademik, yang diwujudkan melalui penguasaan pengetahuan, riset, dan inovasi teknologi yang relevan dengan kebutuhan nasional, seperti pengembangan energi terbarukan, teknologi keamanan informasi, dan modernisasi sektor pertanian.

Kedua dimensi sosial, melalui kegiatan yang membangun kemandirian masyarakat, pemberdayaan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan di daerah tertinggal, dan kerja-kerja kemanusiaan. Ketiga dimensi budaya, yang berfokus pada pelestarian bahasa daerah, kesenian tradisional, serta nilai-nilai adat sebagai identitas kolektif bangsa. Keempat dimensi politik dan demokrasi, yang mencakup keterlibatan aktif dalam menjaga integritas pemilu, mengawal kebijakan publik, dan menyuarakan aspirasi rakyat melalui mekanisme yang sah.

Mahasiswa sering diasosiasikan dengan tiga peran pokok, yaitu agen perubahan (agent of change), pengontrol sosial (social control), dan penjaga nilai (guardian of value). Sebagai agen perubahan, mahasiswa diharapkan menghasilkan ide-ide kreatif dan terobosan yang mampu memperbaiki kondisi bangsa. Sebagai pengontrol sosial, mereka berfungsi melakukan kritik konstruktif terhadap kebijakan yang menyimpang dari kepentingan rakyat. Sementara sebagai penjaga nilai, mereka menjadi garda terdepan dalam mempertahankan ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI.

Untuk dapat melaksanakan peran tersebut secara optimal, pelajar dan mahasiswa perlu membangun tiga pilar kekuatan. Pertama kekuatan intelektual, yang diperoleh melalui pendidikan formal, pelatihan, dan pembelajaran sepanjang hayat. Kedua kekuatan moral, yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, etika, dan Pancasila sebagai pedoman dalam bertindak. Ketiga kekuatan sosial, yang mencakup kemampuan bekerja sama lintas generasi, suku, dan budaya, serta kepedulian terhadap persoalan masyarakat. Dengan memahami posisi strategisnya dan melaksanakan peran secara konsisten, pelajar dan mahasiswa tidak hanya menjadi penerus bangsa secara biologis, tetapi juga menjadi penjaga eksistensi negara. Keterlibatan aktif mereka baik dalam dimensi militer maupun non-militer akan memperkokoh ketahanan nasional, menjaga persatuan, dan memastikan keberlanjutan pembangunan. Dukungan dari pemerintah, lembaga pendidikan, serta seluruh elemen masyarakat menjadi faktor penting agar potensi generasi muda dapat dioptimalkan demi kemajuan dan keamanan negara.

PENUTUP

1.Kesimpulan

Bahwa berdasarkan dan Qur’an dan Hadist setiap warga negara yang menempati suatu tempat maka wajib mempertahankan negara dari serangan luar dan menjaga stabilitas negara.
Bahwa peran Mahasiswa atau pelajar kontribusinya bela negara dengan sungguh-sungguh mencari ilmu dengan rajin, giat dan bisa memberikan kontrol terhadap kinerja pemerintaj supaya dapat berjalan sesuai kontribusi Undang-Undang Dasar 1945

B.Saran

Pemerintah bersama lembaga pendidikan perlu memperkuat pendidikan bela negara yang terintegrasi dalam kurikulum, baik melalui materi wawasan kebangsaan, literasi digital, maupun pelatihan kepemimpinan, agar generasi muda memiliki kesadaran dan keterampilan yang memadai untuk menghadapi ancaman militer maupun non-militer.

Pelajar dan mahasiswa hendaknya memanfaatkan potensi intelektual, moral, dan sosial yang dimiliki untuk berkontribusi aktif dalam menjaga persatuan bangsa, mengawal kebijakan publik, serta mengembangkan inovasi yang bermanfaat bagi kemajuan dan ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019.
Abu Dawud, Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Muslim, Imam. Shahih Muslim. Kitab al-Imarah, Bab Fadhlu ar-Ribath fi Sabilillah. Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi.
An-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib. Sunan an-Nasa’i. Beirut: Dar al-Fikr.
At-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa. Sunan at-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami. Muslim, Imam. Shahih Muslim. Kitab al-Imarah. Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi.
Al-Qardhawi, Yusuf. Fiqh al-Jihad. Kairo: Maktabah Wahbah, 2009.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Oppenheim, Lassa. International Law: A Treatise. London: Longmans, Green & Co., 1955.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Bela Negara: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Jakarta: Kementerian Pertahanan, 2017.
Lubis, S. H. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 3.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Bela Negara: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Jakarta: Kementerian Pertahanan, 2017.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2016.
Hidayat, Komaruddin. Pendidikan Karakter untuk Generasi Emas. Jakarta: PT Gramedia, 2013.

Mulyasa, E. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Nugroho, Riant. Public Policy: Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi dan Kimia Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014.
Sudirman, A. Pemuda, Bela Negara, dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.
Yamin, Muhammad. Naskah Sumpah Pemuda. Jakarta: Balai Pustaka, 1971.

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *